Beberapa minggu yang lalu, seorang siswa kelas di Lab mengajukan sebuah pertanyaan filosofis di kelas seduh manual.
Apakah kita menyeduh kopi untuk mencari rasa asli kopi tersebut, atau kita menyeduh seenak hati demi memuaskan rasa yang kita nikmati.
Untuk sesaat dalam otak, gemuruh menggelegar. Pertanyaan macam apa ini? Apakah rasa asli itu? Butuh waktu beberapa waktu untuk mencerna pertanyaan tersebut. Sebagai praktisi yang senang cepat dan nembak, otak tidak didisain untuk berpikir filosofis seperti ini.
Alasan yang dipergunakan orang untuk menyeduh selalu bermacam macam. Mulai dari pemenuhan kebutuhan kafein, pemuasan kebahagiaan diri, hingga menikmati perjalanan rasa. Setiap alasan akan mencari titik berbeda dari rasa kopi yang ada.
Bagi sang penanya, tujuannya dalam menyeduh adalah mencari keaslian rasa. Demi keaslian rasa, beliau mencari air paling murni, menggunakan filter yang tidak di-bleach karena khawatir bleach akan mengotori rasa dan berbaga langkah lainnya. Analogi yang dipakai adalah dengan bahan penyeduh atau pelarut semurni mungkin, maka rasa yang akan terseduh adalah rasa yang hakiki. Namun kembali muncul pertanyaan, emang rasa asli kopi itu seperti apakah?
Teori yang beliau keluarkan terdengar menarik, walau dalam kenyataannya bagi saya banyak bolongnya. Apa yang kita nikmati dari secangkir kopi, selain larutan hangat, adalah sederetan larutan minyak esensial, lemak, gula, protein, karbohidrat dan sederet komponen kimia organik lainnya. Setiap komponen kimia organik tersebut memiliki kondisi tertentu dimana dia akan terseduh. Apa yang oleh sang peserta kelas dianggap sebagai kontaminan, malah sebetulnya berfungsi sebagai alat bantu penyeduhan.
Di sisi lainnya, barista-barista muda saat ini sedang sibuk bermain dan bereksperimen dengan menambahkan sedikit kontaminan ke dalam air yang mereka pergunakan untuk menyeduh. Komponen kimia organik seperti kalsium karbonat, magnesium klorida, hingga potassium nitrat, mereka tambahkan ke air murni mereka demi mendapatkan air yang masuk kategori sempurna untuk menyeduh kopi-kopi mereka. Sedemikian hebohnya diskusi dan eksplorasi mengenai air ini, hingga Barista Guild of Indonesia (BGI) mengadakan kelas terbuka beberapa hari yang lalu. Kelas terbuka yang membahas mengenai kadar mineral dalam air, sisi positif serta negatifnya. Sayangnya karena diadakan di Jakarta, dan bertepatan dengan adanya kelas di Lab, maka saya tidak bisa hadir. Beruntung beberapa hari kemudian saya bisa bertemu dengan Yoshua Tanu untuk mendapat sekelumit cerita mengenai acara tersebut, ditambah satu dua dosis gosip dunia kopi ibukota.
Bagi saya, apa yang ditanyakan oleh peserta kelas, serta apa yang dilakukan oleh rekan-rekan barista muda memiliki tujuan yang sama walau langkah yang dilakukan berbeda, yaitu mencari kopi yang sempurna. Namun pertanyaan pentingnya buat saya adalah, seperti apakah kopi yang sempurna tersebut?
Bagi saya, kesempurnaan kopi hanya bisa dicapai apabila kita sudah bisa memutuskan apa yang kita cari dari secangkir kopi. Apakah kemampuan mereplikasi seduhan dimanapun kita berada dengan hasil yang sangat konsisten, mencoba mengeluarkan bagian tertentu dari zat kimia organik yang dikandung dalam biji-biji kopi, mencoba mendapatkan karakter yang sama dengan yang kita nikmati di kedai yang menjual kopi tersebut, atau untuk mencoba mengekplorasi kekayaan rasa kopi tersebut?
Untuk mereplikasi seduhan secara konsisten, penggunaan air non-mineral atau air desainer akan menolong, walau tidak jaminan. Bagaimanapun air walau memiliki komposisi paling besar dalam seduhan tetaplah hanya satu diantara banyak komponen dalam proses penyeduhan.
Apabila kita ingin mengeluarkan komponen tertentu dari rentetan zat kimia organik yang ada di dalam kopi, mungkin satu-satunya cara adalah dengan menggunakan air desainer. Namun kemudian muncul pertanyaan, seberapa stabilkah campuran air tersebut? Seberapa mudahkah air tersebut dibuat, diimplementasikan, dan apa pengaruhnya ketika berkaitan dengan komponen lainnya seperti panas, tekanan, dan lainnya?
Apabila kita ingin mendapatkan kembali rasa seperti yang kita rasakan kala mengunjungi sebuah kedai, pekerjaan rumah menjadi lebih banyak. Tidak hanya kita harus mencari tahu kadar mineral air yang mereka pergunakan, kita idealnya harus pula bisa mencoba menyamakan tingkat kelembaban, temperatur, alat, resep, dan hal-hal kecil lainnya yang bisa membuat kita jatuh cinta dengan rasa tersebut.
Ruwet atau tidaknya seduhan sangat tergantung dengan apa yang kita cari dari dari secangkir kopi. Apabila kita melihat cangkir kopi kita sebagai sebuah perjalanan, maka perbedaan yang terjadi pada seduhan kita bisa kita perlakukan seperti sebuah detour dalam perjalanan kita. Memang sih kadang akan sangat menyenangkan, kadang membosankan atau menyebalkan. Namun dalam sebuah perjalanan, pengalaman-pengalaman tersebut yang akan membuat hidup lebih berwarna
Selamat menyeduh teman, dan selamat menikmati hari minggu ini
Bandung, 22 April 2018