volume vs kualitas vs kebanggan kosong

Beberapa minggu yang lalu dunia kopi di Indonesia diributkan oleh pernyataan sebuah kedai kopi jaringan internasional yang menyatakan mereka tidak menjual kopi indonesia karena kualitasnya yang tidak stabil

Netizen bergelora, mengeluarkan pernyataan-pernyataan panas, membawa-bawa masalah nasionalisme. Pernyataan itu pun kemudian beralih menjadi sebuah hasutan untuk memboikot tempat tersebut, dengan dalil sakit hati.

Melihat hal itu terjadi, saya tersenyum kecut. Sedemikian kerdilkah jiwa kita, dan sedemikian membutakannya kah kebanggan kita bernegeri sehingga pernyataan tersebut dianggap menghujat.

Apabila kedai yang buka tersebut bukanlah sebuah jaringan dari luar, apakah hal yang sama akan terjadi? Menurut logika saya tidak. Kedai tersebut akan malah terkenal di dunia maya, karena menawarkan kopi-kopi eksotis dari luar negeri. Rasa-rasa yang berbeda dengan kopi negeri ini akan membuat orang mengetik pujian, dan foto akan bertaburan demi menunjukkan eksistensi, bahwa kita sudah disana. Tidak percaya? Lihatlah kedai-kedai kopi kekinian yang sekarang muncul di kota-kota besar. Berapa banyak dari mereka yang dengan bangga menampilkan kopi-kopi luar, baik yang disangrai sendiri, roaster lokal, maupun roaster luar.

Lalu apa yang terjadi? Kenapa mereka kita perlakukan berbeda? Adalah hak sebuah perusahaan untuk memilih biji apa yang akan mereka pergunakan. Sebuah keputusan perusahaan pasti diambil dengan dasar-dasar tertentu. Mengapa kita merasa berhak menghujat keputusan tersebut? Mencoba produknya saja belum kok ya sudah menghakimi.

Apakah benar stabilitas kualitas kopi indonesia masih kurang?

Bila dibandingkan dengan kopi-kopi dari kolombia atau brazil, kualitas kita memang jauh lebih tidak stabil. Ketidak stabilan ini muncul karena ukuran kebun dan jumlah kopi yang bisa dihasilkan dari kebun-kebun tersebut. Bila di Kolombia atau Brazil 1 container kopi seberat 18 ton bisa dihasilkan oleh 1 perkebunan besar, di Indonesia butuh dikumpulkan dari puluhan bila tidak ratusan petani. Tiap petani melakukan pengolahan sendiri-sendiri, yang artinya kemungkinan pergeseran kualitas semakin besar. Proses sortasi dilakukan untuk mengurangi perbedaan, namun yang disortir itu kan bentuk fisik. Bahwa kopinya rasanya berbeda karena perbedaan lama fermentasi atau pengeringan hanya bisa dipilah kala dilakukan proses uji citarasa. Kalau semua kopi diuji citarasa dulu, yang dijual apanya?

Kenapa kita tidak bisa melihat komentar tersebut sebagai sebuah kritik atas kualitas kopi negeri ini. Yang ngalamin ketidak stabilan kualitas itu tidak hanya mereka yang bereada diluar sana, roaster lokal pun banyak yang tertiak teriak kok

Beberapa hari belakangan muncul berita mengenai niatan pemerintah menggelontorkan uang trilyunan ke industri kopi. Bukannya bahagia saya malah mengalami sebuah ketakutan. Kenapa takut? Karena tujuan dari penggelontoran itu, semoga saya tidak salah baca, demi membalas Vietnam yang berhasil menyusul lagi volume produksi Indonesia

Volume jarang sekali bisa sejalan dengan kualitas.

Dan saya pernah melihat niatan baik pemerintah menjadi besi tua karena tidak terstrukturnya penyaluran bantuan. Alat pengepakan kopi sangrai otomatis yang harganya tidak murah teronggok begitu saja di Sulawesi Selatan, padahal yang semestinya dilakukan adalah memperbaiki kualitas produk melalui program penanaman dan pasca panen yang baik.

Kita entah kenapa sering diminta jadi superman. Harus segala bisa. Saking diminta segala bisa, akhirnya tidak ada yang menjadi seorang spesialis yang benar-benar ahli.

Ketika kita diarahkan menggenjot kuantitas, maka komentar mas Matt Perger diatas akan makin banyak terdengar. Penanaman puluhan juta bibit di negeri ini bisa membuat kualitas turun, karena bibit yang disebar belum tentu cocok dengan karakter tanah atau keinginan rasa pasar. Apabila terus dipaksa, kopi Indonesia bisa menjadi kopi brazil yang volumenya besar sekali, namun ragam rasanya menjadi sama semua

Maaf ya kalau postingan ini laksana muntah

8 thoughts on “volume vs kualitas vs kebanggan kosong

  1. sebenarnya meliahat episode-episode di coffee story mas Adi pun saya sudah bisa “baca” kok bagaimana keadaan kopi indonesia 😦

  2. Semoga perkebunan kopi indonesia tetap dikuasai mayoritas oleh petani2 skala rakyat….bukan perusahaan besar. Walau lbh sulit melatih yg banyak utk kualitas yg serupa, tetapi jauh lbh mensejahterakan banyak orang. Jalan mudah & instan hampir selalu punya daya rusak yg besar. Jalan sulit tp radikal akan membuat kekuatan yg dahsyat ketika berhasil, walau perlu waktu lbh lama utk mencapainya

    1. dilema sih sin, perkebunan besar akan bikin kualitas lebih stabil dan harga kopinya lebih baik. Berapa yang didapat petani/buruh tani jadi pertanyaan, namun tugas mereka akan lebih fokus. Bila semua ditangani petani, dengan skala yang kecil seperti sekarang ini, kualitas dijamin naik turun, dan sering kali petani tidak memiliki waktu untuk mengolah semuanya dengan baik. Selain itu di beberapa tempat para petani ini pun punya masalah mencari yang bisa membantu mereka memetik buahnya disaat terbaik. Apakah petani lebih sejahtera secara finansial, mungkin, tapi sebandingkah dengan waktu yang harus mereka habiskan?

      Beberapa orang berpikiran bahwa untuk bisa bagus kualitasnya, petani harus monokultur. Saya tidak setuju karena untuk bisa monokultur, petani harus dibekali kemampuan finansial yang baik, atau ada pendukung dana (yang sering kali dilabel tengkulak). Bukan apa-apa, kopi tidak berbuah setiap saat.

      Yang terpikir diotak saya saat ini adalah sentralisasi pengolahan. Petani bertanggung jawab hingga pemetikan dan pengantaran ke pusat pengolahan. Pengolahannya sendiri dikelola oleh pihak lain yang bisa berfunsi juga sebagai pembeli atau menawarkan pengolahan dengan biaya tertentu. Dengan cara ini pasca panen bisa lebih dikendalikan mutunya

      1. Bahkan ada pendampingan para petani hingga kurang lebih 2 tahun untuk mengajarkan bagaimana menanam, memetik (petik merah) cherry, bahkan hingga cara memetiknya…

        Setuju tentang sentalisasi…
        Ini yang sudah terjadi di kintamani bali… Para petani menyerahkan kopi masih dalam bentuk cherry…

Leave a comment