Benarkah kopi Indonesia populer?

Satu hal yang selalu saya ceritakan di kelas kami di 5758 Coffee Lab, adalah tanpa Indonesia, dunia kopi tidak akan seramai ini. Bila dalam satu titik dalam sejarah Belanda tidak mencoba menanam di Indonesia, dan berhasil mengekspor kopi pada tahun 1711 walau hanya 400 Kg saja, mungkin hingga sekarang kopi masih menjadi monopoli kaum pedagang Arab, atau yang pasti, kopi tidak akan menjadi minuman kekinian saat ini.

Saya selalu berpikir mengenai kebesaran nama Indonesia di kancah kopi dunia. Dengan posisi tidak jauh-jauh dari 5 besar negara penghasil kopi dunia, kopi Indonesia semestinya cukup diminati di dunia.

Akan tetapi kalau kopi Indonesia sepopuler itu, kenapa saya susah menemukan kopi Indonesia di kedai kedai kopi kekinian, terutama di beberapa “kota kopi” yang saya kunjungi di pantai barat Amerika Serikat beberapa hari belakangan?

Kalau kita telaah, kopi Indonesia sinonim dengan kopi Sumatera, terutama Sumatera Utara. Karakter rasa yang didengungkan bila kita berbicara mengenai kopi kopi tersebut biasanya tidak akan jauh-jauh dari spicy, earthy, heavy body, heavy berry notes, kayu cedar, atau aroma tembakau. Karakter yang terdengar eksotis, terutama bagi para pelaku industri kopi gelombang ke-2, atau penikmat kopi yang sudah cenderung berumur. Kala disangrai sedikit tua, ditambahkan susu, diminum kala cuaca lagi dingin, karakter berat tersebut terasa sangat menyenangkan.

Namun pasar berubah. Dengan meningkatnya antusiasme penggiat dan penikmat kopi, apa yang dulu enak, sekarang ditinggalkan. Metoda seduh yang semakin lama semakin canggih dan detail memungkinkan seorang barista untuk bisa mengeksplorasi kopi yang mereka miliki dengan lebih teliti. Majunya teknologi informasi pun membuat informasi lebih mudah didapat baik oleh pelaku maupun konsumen mereka. Belum tentu membuat mereka menjadi pintar, sih. Tetapi mereka bisa dengan lebih mudah mendapatkan/membuat sebuah gambaran mengenai kopi yang akan mereka minum.

Bila kita sekarang berkunjung ke kedai kedai kopi gelombang ke-3 di kota kota tersebut, dengan mudah kita akan mendapatkan kopi dari Afrika seperti Kenya dan Etiophia, atau dari Amerika Latin seperti dari Guatemala, Brazil, atau Kolombia. Mari kita kesampingkan kopi dari Amerika Latin, karena mereka unggul dari kita dalam soal tradisi konsumsi disini, kemudahan pengiriman, dan tentunya stabilitas rasa.

Mari kita lihat kopi-kopi Afrika. Rasa yang ditawarkan kopi-kopi afrika rata-rata adalah rasa yang ringan ceria, penuh dengan karakter buah dan aftertaste yang bersih. Kopi-kopi ini menyenangkan diseduh sebahai minuman panas, dingin, dengan atau tanpa susu. Sangat kontras dengan karakter “standar” kopi kita yang banyak ditawarkan ke mereka. Apakah kopi Indonesia tidak ada yang seperti kopi-kopi Afrika tersebut? Kalau dicari yang sama plek ya dijamin tidak ada, bagaimanapun setiap tempat passti memiliki kecantikannya masing masing, namun bila yang agak mirip, negara kita memilikinya.

Kenapa mencari yang mirip? Kenapa tidak dengan bangga terus mendorong atau menjual apa yang kita miliki, seperti yang telah kita lakukan selama ini?

Langkah tersebut tidak salah, paling tidak menurut saya. Namun didunia kopi specialty, bersih cacat saja tidaklah cukup. Pelanggan yang semakin lama semakin pintar, kian lama kian spesifik memilih apa yang mereka gemari. Disini kita tidak lagi menghadapi periode dimana kopi ya rasanya harus seperti kopi, disangrai gelap untuk meminimalisir rasa cacat yang ada. Disini pelanggan yang memilih.

Dan untuk pantai barat Amerika Utara, pelanggan memilih karakter kopi yang ditawarkan oleh kopi kopi Afrika tersebut.

Apakah tidak bisa mengedukasi pasar mengenai karakter rasa kopi Indonesia kebanyakan ini (baca: Sumatra). Edukasi adalah kata yang sangat berat bagi saya, apalagi pelanggan berada dalam posisi membayar dan kita yang menyediakan. Saat ini secara hirarki pembeli memiliki suara yang besar. Proses edukasi akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak kecil. Apabila ditelateni, maka hasilnya bisa seperti kopi Kolombia dengan kampanya Juan Valdez-nya. Masalahnya, negara kita dikenal dengan ketidak konsistenan, perencanaan jangka pendek, ingin hasil cepat dan pendanaan yang tidak jelas.

Lalu apa yang bisa dilakukan agar hasilnya terlihat (lebih) cepat? Menurut saya caranya dengan mencoba mencari origin Indonesia yang memiliki rasa yang mirip dengan rasa populer tersebut, fokus hanya pada origin tersebut hingga sebuah satuan waktu, dan memastikan kualitas dan pasokannya bisa terjaga.

Bagaimana dengan daerah lain, atau daerah yang dulu pernah populer? Pada skema kedua, daerah tersebut diminta untuk bersabar terlebih dahulu. Izinkan daerah yang memiliki karakter spesifik ini membukakan jalan. Negeri kita sedemikian kayanya, sehingga menawarkan karakter rasa yang sedemikian luasnya. Luasnya tawaran membuat seseorang menjadi semakin susah menentukan pilihan. Belum sempat mereka selesai bermain dengan profil sangrai atau rasa, muncul rasa lain. Ketika sudah jatuh cinta, barang yang sama hilang dari pasaran atau kualitas turun.

Kita dibesarkan untuk maju dan bergerak bersama. Namun maju dan bergerak bersama sering kali menghasilkan dilema. Sudah waktunya kita belajar untuk bergerak bergantian. Bergerak berdasarkan data, bukan cerita atau kebanggaan semata. Observasi yang saya lakukan ini memang hanya dari segelintir kedai kopi gelombang ke-3 di pantai barat Amerika. Secara volume, kedai kopi gelombang 3 mungkin masih kalah jauh dibandingkan konsumen gelombang ke-2, atau gelombang ke-1 sekalian. Namun para pemilik kedai gelombang 3 serta pelanggannya tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap masa depan konsumsi kopi dunia. Mereka berani beropini serta bereksperimen, mencari titik seduh yang menurut mereka optimum. Bila kita tidak mencoba mencari tahu apa yang mereka gemari, apa yang akan terjadi kala muncul gelombang-gelombang yang lainnya?

Los Angeles, 11 Februari 2018

When simplicity and a lttle twist on tradition help creates a champ

Perkenalkan seorang barista Indonesia, Doddy Samsura. Doddy adalah seorang barista yang bekerja di Kedai Kopi Espresso Jogja, penyandang gelar juara Indonesia Barista Competition 2011, dan sekarang bisa menyebut dirinya sebagai barista nomer 2 di Asia Pasifik setelah mengikuti kejuaraan Food and Hotel Asia Barista Chalenge 2012 beberapa minggu yang lalu. Dalam sebuah kompetisi, seorang barista diminta untuk menyiapkan 12 minuman dalam 15 menit. 12 minuman itu terdiri dari 4 espresso, 4 cappuccino dan 4 terakhir adalah minuman kreasi sendiri. Selain membuat, sang barista diminta untuk menghidangkan, dan idealnya bisa bercerita mengenai produk yang dibuatnya. Cerita mengenai kopi apa yang dipergunakan, proses pasca panen seperti apa, diolah bagaimana, varietal apa, ditanam dimana, hingga (mungkin) nama piaraan sang petani diceritakan oleh sang barista, untuk memberi jati diri atas produk yang mereka sajikan. Disini kopi tidak hanya berhenti di kata pahit.

Beberapa minggu sebelum kompetisi di Singapura, saya sempat bertemu Doddy di kotanya. Ngobrol ngalor ngidul, bikin kopi sana steam susu sini, akhirnya obrolan masuk ke persiapannya menghadapi kompetisi. “ketika orang mencoba menghubungkan kopi dan Jogjakarta, biasanya kopi joss akan muncul dikepala” celoteh Doddy. Kenapa kopi Joss? Karena secara visual kopi joss menarik dan cukup teatrikal. Kopi panas dibuat semakin membara dengan ditambahkan arang merah menyala. Arang pecah terkena air, dan air memercik terkena panas. Asap mengepul membawa aroma membelai indera. Itulah yang menjadi dasar minuman kreasi sendiri yang disiapkan Doddy untuk kompetisi. “Selain tampilan yang heboh, banyak cerita yang bisa saya ceritakan dari minuman ini” kisah Doddy. Cerita yang tidak harus dihapal karena sudah dikenal, mengurangi kemungkinan kacau ketika panik menyerang kala kompetisi nanti. Namun untuk kompetisi, kopi jos ini hanya diambil intisarinya saja. Kompetisi mensyaratkan penggunaan espresso sebagai bahan dasar utama, dan mencoba menyuguhkan arang menyala ke juri internasional tidak tampak sebagai ide baik. Karena kala itu Doddy belum memutuskan kopi dari daerah mana yang akan dipergunakan, apakah toraja atau kintamani, maka kopi joss ini harus diberi beberapa bahan agar kopi apapun yang dipergunakan, karakter yang nanti didapat tidak bergeser terlalu jauh. Kedua kopi tersebut biasanya memiliki karakter citrus yang cukup kuat, walau berbeda. Untuk mengakali karakter rasa yang belum jelas ini, kulit jeruk sunkist valencia dipergunakan. Sepotong kecil kulit jeruk ini akan ditaruh didasar demitasse/gelas sloki, dengan harapan minyak esensialnya akan larut terseduh oleh espresso panas yang menimpanya. Bahan tambahan kedua, karena kopi yang dipergunakan belum jelas, sedikit gula ditaruh diatas kulit jeruk tersebut. Selain memberi sedikit rasa manis, gula ini juga berfungsi untuk membuat persepsi kekentalan (body) tersebut bertambah, serta untuk memberi latar belakang yang menyenangkan dari aroma jeruk yang didapatkan dari kulit jeruk. Diatas kulit jeruk dan gula inilah espresso diseduh. Untuk membuat karakter rasanya lebih bulat, sedikit cream cair ditambahkan. Cream ini diberikan dalam porsi sangat sedikit, agar karakternya tidak menutup rasa yang telah muncul. Sebagai piece de resistance norit dibakar hingga menyala, dan lalu dimasukkan ke dalam cangkir. Kenapa norit? Karena norit yang dibakar memberikan sedikit rasa manis tambahan yang membuat minuman ini terasa lebih nikmat, selain sebuah jaminan, bahwa bahan yang dimasukkan ke dalam minuman semuanya aman.

Walau terkesan ribet, minuman kreasi Doddy ini sebenarnya sangat sederhana. Minuman ini dimaksudkan untuk menghighlight sebuah citarasa yang akan ditemukan di kopi yang nanti akan dipergunakan, namun dengan sedikit kejutan, baik secara rasa atau visual demi menarik perhatian para juri. Hal tersebut tampak ketika Doddy mulai membakar noritnya diatas panggung. Ekspresi bingung, cemas, takut, dan terpesona bercampur aduk di muka para juri, Sang MC bahkan sambil bercanda bilang bahwa dia nyaris lari mengambil Alat Pemadam Api Ringan (APAR) kala api menyala dengan cantiknya, sebelum sang norit memerah menajdi bara. Reaksi inilah yang memang diharapkan dari minuman ini. Dimana para juri tidak tahu harus berpikir apa, melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, sehingga mereka tidak bisa berekspektasi apapun terhadap minuman tersebut. Saya jujur tidak tahu nilai yang diberikan juri, namun bila mendengar celetukan beberapa juri setelahnya, minuman yang satu ini menarik bagi mereka, dan memiliki citarasa yang unik dan enak.. Melihat bagaimana ekspresi para juri, bagaimana Doddy bisa bercerita, dan celetukan sesudahnya membuat saya senang. Apa yang terlihat canggih belum tentu lebih baik, apa yang menjadikan seseorang juara di tempat lain belum tentu bisa diaplikasikan orang lain, yang heboh bin ribet belum tentu lebih cantik dari yang sederhana, dan apa yang sudah ada atau lama, dengan kemasan yang sedikit dirubah bisa membuat orang kembali terpesona Selamat Doddy atas prestasinya, semoga selalu mau belajar, mencoba, dan berbagi ilmunya.

segitiga robusta sumatra, gagal merangkum dalam kata (part-5)

Sumatra Selatan

Sumatra Selatan adalah akhir dari perjalanan panjang menjelajahi segitiga Robusta Sumatra. Disini akhirnya melihat kopi yg dijemur dijalan dan digiling ban kendaraan. Di propinsi ini pula saya bertemu dengan seorang petani tua yang mau berbagi cerita tentang kopi dan kampungnya yang nan cantik, serta merasakan penderitaan (gak bisa) tidur gara2 kamar di paling ujung deket toren dan sumur. DI Palembang, bertemu dengan beberapa teman berhati baik, yang mau berbagi cinta mereka melalui sebuah kedai kopi kecil yang mereka bina.

Banyak yang dipelajari, banyak yang dilihat dalam trip ini. Negeri ini memang indah, sayang kalau tidak kita eksplorasi, rawat dan cintai

This slideshow requires JavaScript.

kopi kintamani pagi malam

kintamani adalah salah satu sentra penghasil kopi terbaik di negeri. Sedemikian baiknya, sehingga kawasan yang memiliki sertifikasi Identifikasi Geografis pertama di negeri ini untuk kopi adalah kawasan ini.

Hari sudah agak siang ketika kami tiba di Kintamani. Penerbangan yang sedikit terlambat, dan makan pagisiang alias brunch hebat pilihan para pengemudi, membuat kedatangan kami mundur dari jadwal. Razia pihak DLLAJR terhadap kendaraan sewa pun jujur tidak membantu.

Kebun di kintamani ini tampak sangat rapih bila dibandingkan dengan apa yang saya lihat di Takengon dan Bener Meriah.  Pohon kopi yang dirawat dengan baik, dibatasi tinggi tumbuh hanya 1,2m tampak tertata rapih dibawah naungan pohon-pohon dadap dan pohon jeruk.  Hawa yang cukup dingin terasa menerpa wajah dan tubuh, membuat dilema muncul di kepala. Pemandangan yang cantik menggoda untuk mengeluarkan kepala dari jendela, menyerap udara segar dan pemandangan indah, namun resiko kedinginan dan sakit diakhir hari. Bagaimanapun perjalanan di pulau dewata ini masih panjang.

Berhubung sedang masa panen, kontak kami di Subak Abian Kertawaringin Bpk Made Ridha meminta maaf tidak bisa menemui kami. Sebuah kekecewaan muncul. Bertahun yang lalu saya pernah terpesona mendengar cerita pak Made mengenai kopi kintamani, kala kami mengikuti pelatihan bersama di Jember. Saya berharap bisa mendengar kelanjutan cerita tersebut, penasaran perubahan apa yang telah terjadi bertahun kemudian.

Sebagai penggantinya, pak Made meminta kakaknya, pak Wayan, untuk menemui dan membantu kami. Bersama beliau satu dua kebun kami jelajahi, demi mencari rumpunan buah yang akan dipanen keesokan hari. Sambil berjalan pak Wayan bercerita, bahwa seperti halnya didaerah lain di Indonesia, panen kopi tahun ini berkurang cukup drastis. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, panen tahun ini diprediksi hanya mencapai 30% dari biasanya. Artinya sebuah penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 70%. Untung, cerita beliau, harga kopi naik cukup tinggi. Pendapatan petani memang mungkin tidak naik, tetapi paling tidak, tidak akan turun hingga mereka bingung bagaimana menghidupi keluarga mereka.

Selain tampak rapih, perbedaan lain yang saya lihat di kebun di banjar Mabi desa Belantih ini adalah populasi laba-laba yang jauh sedikit dibanding kebun-kebun di Takengon (dan ukurannya jauh lebih kecil), dan tanahnya yang sangat gembur walau cenderung berpasir. Bukannya saya takut dengan Laba-Laba. Sayahanya merasa tidak nyaman merusak sarang mereka. Sarang yang sudah mereka buat susah payah demi kelangsungan hidup mereka, dan mengurangi serangga pengganggu di kebun-kebun kopi. Untuk di kebun di Kintamani ini, Alhamdulillah tidak banyak sarang yang rusak diterobos badan besar saya.

Kopi kintamani tidaklah juara dari dahulu. Ada sebuah periode dimana kopi mereka dianggap tidak berharga, hingga petani menebang pohon-pohon kopi mereka, dan menggantinya dengan jeruk. Kini keadaan kembali berbalik. Harga jeruk yang merosot, serta banyaknya hama yang menyerang tanaman mereka, membuat petani kembali menanam kopi.

Penanaman kembali kopi di Kintamani diiringi dengan perbaikan sistem penanaman dan pasca panen mereka. Proses pasca panen sekarang dilakukan di tingkat KUD, dan bukan petani perseorangan, seperti yang dilakukan di amerika tengah. Hal tersebut memungkinkan dilakukannya kontrol kualitas yang lebih baik, dan dilaksanakannya proses full wash dengan fermentasi yang terkendali. Penjemuran yang oleh para petani dulu hanya digeletakkan begitu saja diatas tanah atau di jalan, sekarang dilakukan oleh pihak KUD dengan menggunakan para-para. Penggunaan para-para ini memastikan kopi dapat mengering dengan baik. Dasar para-para yang berupa kasa kawat halus memastikan air bisa jatuh ke tanah, dan udara bisa mengalir dengan baik disekeliling biji kopi.

Satu hal unik yang dilakukan di Subak Abian ini adalah proses pascapanen yang dilakukan menjelang malam. Sekitar pukul 18:30 petani atau pengumpul datang, dan petugas segera menimbang berapa banyak buah kopi (kopi gelondong) yang mereka bawa. Setelah penimbangan selesai, kopi gelondong ditampung sementara dalam sebuah bak, menanti jumlah yang cukup banyak, sebelum proses pulping atau pemisahan kulit dan biji dilaksanakan. Digerakkan oleh sebuah mesin 2 tak kecil seperti yang dimiliki sebuah generator, pulper akan mengupas buah kopi, dan memisahkan biji serta kulit. Biji yang sudah dipisahkan dari kulit lalu dialirkan menuju bak fermentasi, melalui beberapa orang yang bertugas memisahkan kopi kulit yang masih terbawa air ditengah dinginnya malam. Biji kopi yang sudah bebas serpihan kulit tersebut lalu akan ditamung dalam bak fermentasi, dan dibiarkan selama 12-36 jam, tergantung pesanan.

Awalnya saya sempat bingung, kenapa harus dilakukan malam-malam. Ternyata alasannya sederhana. Kecuali pada saat panen besar/panen tengah, mereka rata-rata mengolah 1,5 ton buah kopi perhari. 3 ton bila sedang panen besar. Untuk mengolah 1,5 tersebut, lama proses penerimaan dan pulping yang harus dilakukan adalah sekitar 1,5 – 2 jam. Artinya bila dimulai pk 18.30, maka pk 20.30 proses selesai dan proses fermentasi bisa dibilang dimulai. Ditambahkan 12 jam, maka keesokan harinya pada pukul 9, biji kopi bisa dicuci dan mulai dijemur. Dengan panas yang sedang tidak terlalu bagus seperti beberapa minggu belakangan ini, kurang lebih pk.10.00 kopi akan dimuat  ke dalam truk, untuk memulai perjalanan 1,5 jam menuju beberapa gudang/area penjemuran di singaraja, dimana panas berlimpah.

Proses fermentasi sangat mempengaruhi karakter rasa yang dihasilkan. Jujur saya adalah penggemar kopi kintamani yang difermentasi 36 jam. Kopi Kintamani fermentasi 36 jam ini memiliki karakter citrus yang cukup dominan, dengan body yang cenderung ringan, dengan karakter berry yang kental dan akhir yang bersih. Fermentasi yang hanya 12 jam mengakibatkan menurun drastisnya rasa citrus, menaikkan karakter manis, dan membuat body yang cenderung lebih tebal.

Di Kintamani ini, ada beberapa subak abian lainnya yang melakukan proses pasca panen seperti Subak Abian Kertawaringin ini. Selain itu ada sebuah perusahaan jepang yang menyewa fasilitas yang dimiliki pemda (UCC?), yang juga melakukan pengolahan untuk kepentingan mereka.

Sayang jadwal perjalanan yang padat tidak mengijinkan saya mengobrol lebih banyak soal dengan pak Wayan soal  Subak Abian, dan dampak kerberadaannya terhadap anggota.  Melihat apa yang dilakukan oleh KUD di Takengon dan Bener Meriah untuk anggotanya, saya berharap hal tersebut terjadi pula di dataran tinggi kintamani yang cantik ini. Terlebih lagi disini KUD yang melakukan proses pasca panen, sehingga kualitas produk kopi bisa lebih terjaga. Bagaimanapun kenikmatan kopi kalau bisa tidak hanya dinikmati oleh mereka yang berada dikota. Petani di desa harus bisa turut menikmatinya, dalam bentuk pendapatan yang layak.

ora et mabora di Singaraja Bali

Singaraja, Bali utara. Walau entah sudah berapa kali saya ke Bali, baik jalan darat apalagi naik pesawat, baru kali ini saya mampir ke kota ini.

Sang pengemudi / local guide (emang orang Bali selatan, tapi dia jauh lebih lokal daripada saya hehehe) bercerita soal bagaimana Singaraja akan kembali diposisikan sebagai kota pendidikan seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Menurutnya banyak sekali tokoh nasional dari Bali yang menghabiskan sebagian hidupnya disini, sebagai seorang pelajar atau mahasiswa.  Mulai dari sekolah menengah hingga akademi atau universitas membangun kampus mereka disini. Gosipnya bahkan Universitas Udayana pun akan hijrah kemari. Bila pulau jawa memiliki Bandung dan Jogja, Singaraja akan menjadi pusat pendidikan dipulau dewata ini

Namun selain pendidikan, ada hal lain yang menarik dari kota ini. Diantaranya;

Gadis-gadisnya tampak cantik dan jauh lebih natural daripada yang saya lihat di Bali selatan, apalagi disekitaran kuta-legian. Sang pengemudi bercerita bahwa mereka juga terkenal lebih ramah dan hangat, bahkan bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Denpasar

Pabrik kopi Banyuatis, penguasa peredaran kopi bali utara memiliki pabrik mereka berada disekitaran Singaraja

2 industri minuman keras dengan kualitas yang terkenal cukup bagus, satu baru jalan, satunya lagi udah dari entah kapan 😀

Kopi nanti akan dibahas sendiri ya, sekarang mari bercerita soal minuman keras 😀

Gwan Gwan Ho adalah arak beras Bali buatan sebuah keluarga keturunan cina yang telah lama bermukin di Singaraja.  Entah sudah berapa puluh tahun atau berapa generasi mereka memproduksi minuman keras ini. Dulu ketika masih dianggap ekonomis, Gwan Gwan Ho atau lebih dikenal sebagai GGH ini merupakan minuman wajib yang harus disajikan bila ada acara atau upacara. Karena semakin lama harga semakin tinggi (kemarin beli dengan harga Rp.65.000,00 untuk ukuran botol bir besar), maka GGH ini akhirnya hanya disajikan bagi tamu-tamu kehormatan saja. Tamu biasa… minum arak buatan karangasem saja…

Apa yang membuat GGH spesial? Yang pasti arak ini memiliki karakter aroma yang cukup kuat dan menarik. Ketika didekatkan dengan hidung, tercium aroma lembut yang manis, dengan sedikit wangi bunga dan buah buahan. Wanginya sedemikian menarik, hingga ingin rasanya untuk terus mencium wangi larutan yang ada didalam gelas. Ketika diseruput, terasa larutan sakti ini dengan halus meluncur masuk, sambil menebar aroma harum tersebut keseluruh pelosok  mulut. Tidak ada karakter kasar tersisa, semua terasa bersih, halus dan bulat.

Walau karakternya yang terdengar cemen, jangan sangsikan kesaktian minuman yang satu ini. Belum habis 3 oz dalam gelas, badan sudah terasa ringan dan nyaman. Berhubung besoknya harus bangun subuh dalam kondisi segar, ciutlah keberanian untuk menambah. Terngiang cerita sang pengemudi bahwa GGH memiliki reputasi sebagai pengencer lutut. Dalam jumlah yang pas (atau berlebih), lutut akan terasa encer, hingga hampir mustahil kita bisa berdiri.

Dalam beberapa kasus, GGH ini merupakan pengganti sake yang cukup digemari jepang-jepang kere, atau larutan dasar untuk membuat red label tipuan. Sedikit lemon tea dan brem bali, masukkan ke dalam botol, dan Voilla….. Red Label bhoongan.

Minuman keras lainnya adalah sebuah weissbier buatan lokal, belum berlabel namun sudah mulai uji pasar disekitaran kuta-legian-seminyak. Bir made in Singaraja bernama Stark ini adalah bir lokal buatan pulau dewata kedua setelah Storm beer. Bir ini jujur sudah masuk dalam daftar misi saya pada kunjungan kali ini. Otak saya yang pelupa terbantukan oleh kemampuan twitter dalam berbagi informasi. Bir dalam botol polos (karena ijin resmi belunm keluar hehehe) ini saya temukan disebuah BeerGarden di area sekitaran Tuban.  Botol coklat dengan motif timbul berbentuk bintang di dekat lehernya disajikan dengan temperatur yang cukup dingin.  Aroma citrus menyeruak dengan kuat, diikuti dengan larutan manis (untuk ukuran bir – jangan dibandingin sama teh manis ya) dan creamy. Ketika temperatur agak turun, karakter citrus tersebut sedikit berkurang, menyisakan karakter larutan khas bir gandum yang gurih dan creamy. Walau mazhabnya berbeda, mereka yang terbiasa minum Corona dengan potongan lemon dicemplungkan kedalam botol rasanya patut mencoba bir yang satu ini.

Sayang karena perijinan yang belum lengkap, saya tidak diijinkan untuk membeli satu atau dua botol bir ini untuk oleh-oleh. Di tempat tersebut Stark beer dihargai Rp.45.000++ per botolnya. Semoga ijinnya cepat keluar, sehingga punya alternatif selain Storm Beer ketika ingin meminum bir buatan lokal yang bukan major label. Bukannya saya gak suka Storm, tapi pilihan akan selalu menyenangkan

feast for a king with peasants wallet – ikan bakar Caluk – Lovina Bali

tema perajalanan ke Bali kemaren, untuk sisi makanan, adalah pasrah dengan referensi pengemudi. Alasannya sederhana, pertama.. gak sempet menggali data dari internet. Kedua, siapa tahu ada yang mengagetkan dan menyenangkan.

Hari sudah malam ketika kami tiba di Lovina. Pemrosesan buah kopi di Subak Abian Kertawaringin Banjar Mabi Desa Belantih yang baru dilakukan sore hari (pk 18.30) memaksa kami baru bisa meninggalkan Kintamani pukul 8 malam. Ditengah dilema mau menginap dimana, dan perut lapar, sang pengemudi mengajak kami makan ikan bakar, dipinggir pantai, dengan harga terjangkau (+embel-embel sambalnya mantap)

Mata merem melek tidur tidur ayam terbangun kala mobil dihentikan. Perut yang lapar berteriak bahagia merasa dijanjikan makanan enak. Keluar mobil, dan kaki melangkah. Namun sebuah keraguan besar tiba-tiba menerpa. Untuk menuju tempat tersebut, sang pengemudi mengajak melangkahkan kaki menyusuri gang kecil gelap. Saking gelapnya, HP pun dinyalakan untuk memberikan penerangan seadanya. Sebelah kiri tembok tinggi sebuah bangunan, dan sebelah kanan tampak sebuah sungai kecil, yang mengalir menuju ke lautan. Diujung gang tampak sedikit penerangan, bias sinar yang keluar dari jendela beberapa rumah kecil. Kaki terus melangkah, dan hidung mencium bau yang dengan cepat muncul diingatan. Bau kotoran sapi!

Rupanya untuk mencapai tempat tersebut, selain harus melewati gang sempit gelap, deretan perahu nelayan, juga harus melewati sebuah kandang sapi, piaraan sekalian tabungan penduduk sekeliling. Kaki terus melangkah menyusuri pantai, dan tidak berapa jauh tampak deretan dangau dan sebuah bangunan permanen memancarkan bias lampu terang.

“Habis, sudah tutup Pak, tadi tutup jam 8…” sepenggal kata yang membuat rasa kecewa menyelubungi diri. Kembali kaki melangkah, kembali ke mobil, melewati kandang sapi, perahu nelayan, dan gang sempit bin gelap tadi. (Dan akhirnya makan apa coba….. Pecel Lele!… jauh jauh ke Bali makannya pecel lele yang dijual orang gresik. Sang penjual dengan enteng nyeletuk, “Pak, yang jualan sampai malam itu hanya orang jawa di sini”)

Karena penasaran, Besok siangnya diniatkan kembali ketempat ikan bakar tadi. Diterangnya siang, tampak plang kecil dipinggir jalan, mulai habis dimakan alam. Karena terang, dengan mudah kaki melangkah menapak jalan setapak. Tampak sungai kecil sebelah kanan bening mengalir perlahan menuju laut. Ikan kecil-kecil tampak berenang, sementara beberapa serangga bercengkerama disekitar bibir sungai. Diujung jalan setapak tampak seorang bapak sedang membenarkan mesin perahunya, dan diseblah kirinya 1 ekor sapi tampak memperhatikan sang bapak dari dalam kandangnya. Suara ombak pecah menghantam pasir terdengar berulang, dan selain itu dan langkah kaki kami, alam terasa tenang.

Dengan ramah sang pemilik warung menyapa, diantarkannya kami ke kotak pendingin merah, dimana ikan ikan tangkapan tadi pagi disimpan. Seekor cumi seberat 1,5 kg, seekor Kerapu merah, ekor kuning, dan baronang, semuanya berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan saya, serta seekor Bawal berukuran lebih dari 2 telapak tangan, kami pilih dan pesan. dengan sigap semua pesanan itu dibersihkan, dibumbui dan disiapkan untuk dibakar. Ketika kami memilih, sang ibu menyiapkan bakaran. sabut kelapa kering dia susun, dan segera dia bakar. Segera setelah sebagian sabut kelapa tersebut menjadi arang, ikan disusun, dan proses pemasakan dimulai.

This slideshow requires JavaScript.

Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali menunggu, mengobrol dan menikmati keindahan alam. Pantai berpasir kehitaman tampak bersih dan enak dipandang mata. Suara hantaman ombak ke pasar membuat pikiran tenang dan nyaman. Saat ini, bagaikan berada di sebuah surga dunia.

Beberapa saat kemudian, tampak kesibukan meningkat di dapur. Nasi diporsi keatas piring piring kecil beralaskan kertas, sambal dan lalapan ditata, dan tidak berapa lama, ikan matang dihantar kemeja. Tidak banyak yang terjadi sesudahnya kecuali konsentrasi tinggi, melahap dan menikmati apa yang ada di depan kami. Seperti yang dijanjikan, sambalnya memang mantap. Sederhana, namun mantap. Ikannya sendiri dibumbui minim, membuat karakter manis khas ikan segar serta wangi khas asap sabut kelapa, keluar dengan cantiknya.

Tidak berapa lama, tampak kepuasan memancar dari muka 8 orang. Perlahan mereka bergerak memencar, mencari posisi nyaman untuk mencerna perta kecil kami tadi. Karena jadwal masih padat, bon kami minta. Dengan cepat sang ibu menghitung, dan menyerahkan bonnya kepada kami. Kerusakan makan siang itu dihargai sebesar Rp. 180.000,00 saja (udah sama kerupuk, es teh dll)

Siang itu saya benar-benar merasa bahagia…