Satu hal yang selalu saya ceritakan di kelas kami di 5758 Coffee Lab, adalah tanpa Indonesia, dunia kopi tidak akan seramai ini. Bila dalam satu titik dalam sejarah Belanda tidak mencoba menanam di Indonesia, dan berhasil mengekspor kopi pada tahun 1711 walau hanya 400 Kg saja, mungkin hingga sekarang kopi masih menjadi monopoli kaum pedagang Arab, atau yang pasti, kopi tidak akan menjadi minuman kekinian saat ini.
Saya selalu berpikir mengenai kebesaran nama Indonesia di kancah kopi dunia. Dengan posisi tidak jauh-jauh dari 5 besar negara penghasil kopi dunia, kopi Indonesia semestinya cukup diminati di dunia.
Akan tetapi kalau kopi Indonesia sepopuler itu, kenapa saya susah menemukan kopi Indonesia di kedai kedai kopi kekinian, terutama di beberapa “kota kopi” yang saya kunjungi di pantai barat Amerika Serikat beberapa hari belakangan?
Kalau kita telaah, kopi Indonesia sinonim dengan kopi Sumatera, terutama Sumatera Utara. Karakter rasa yang didengungkan bila kita berbicara mengenai kopi kopi tersebut biasanya tidak akan jauh-jauh dari spicy, earthy, heavy body, heavy berry notes, kayu cedar, atau aroma tembakau. Karakter yang terdengar eksotis, terutama bagi para pelaku industri kopi gelombang ke-2, atau penikmat kopi yang sudah cenderung berumur. Kala disangrai sedikit tua, ditambahkan susu, diminum kala cuaca lagi dingin, karakter berat tersebut terasa sangat menyenangkan.
Namun pasar berubah. Dengan meningkatnya antusiasme penggiat dan penikmat kopi, apa yang dulu enak, sekarang ditinggalkan. Metoda seduh yang semakin lama semakin canggih dan detail memungkinkan seorang barista untuk bisa mengeksplorasi kopi yang mereka miliki dengan lebih teliti. Majunya teknologi informasi pun membuat informasi lebih mudah didapat baik oleh pelaku maupun konsumen mereka. Belum tentu membuat mereka menjadi pintar, sih. Tetapi mereka bisa dengan lebih mudah mendapatkan/membuat sebuah gambaran mengenai kopi yang akan mereka minum.
Bila kita sekarang berkunjung ke kedai kedai kopi gelombang ke-3 di kota kota tersebut, dengan mudah kita akan mendapatkan kopi dari Afrika seperti Kenya dan Etiophia, atau dari Amerika Latin seperti dari Guatemala, Brazil, atau Kolombia. Mari kita kesampingkan kopi dari Amerika Latin, karena mereka unggul dari kita dalam soal tradisi konsumsi disini, kemudahan pengiriman, dan tentunya stabilitas rasa.
Mari kita lihat kopi-kopi Afrika. Rasa yang ditawarkan kopi-kopi afrika rata-rata adalah rasa yang ringan ceria, penuh dengan karakter buah dan aftertaste yang bersih. Kopi-kopi ini menyenangkan diseduh sebahai minuman panas, dingin, dengan atau tanpa susu. Sangat kontras dengan karakter “standar” kopi kita yang banyak ditawarkan ke mereka. Apakah kopi Indonesia tidak ada yang seperti kopi-kopi Afrika tersebut? Kalau dicari yang sama plek ya dijamin tidak ada, bagaimanapun setiap tempat passti memiliki kecantikannya masing masing, namun bila yang agak mirip, negara kita memilikinya.
Kenapa mencari yang mirip? Kenapa tidak dengan bangga terus mendorong atau menjual apa yang kita miliki, seperti yang telah kita lakukan selama ini?
Langkah tersebut tidak salah, paling tidak menurut saya. Namun didunia kopi specialty, bersih cacat saja tidaklah cukup. Pelanggan yang semakin lama semakin pintar, kian lama kian spesifik memilih apa yang mereka gemari. Disini kita tidak lagi menghadapi periode dimana kopi ya rasanya harus seperti kopi, disangrai gelap untuk meminimalisir rasa cacat yang ada. Disini pelanggan yang memilih.
Dan untuk pantai barat Amerika Utara, pelanggan memilih karakter kopi yang ditawarkan oleh kopi kopi Afrika tersebut.
Apakah tidak bisa mengedukasi pasar mengenai karakter rasa kopi Indonesia kebanyakan ini (baca: Sumatra). Edukasi adalah kata yang sangat berat bagi saya, apalagi pelanggan berada dalam posisi membayar dan kita yang menyediakan. Saat ini secara hirarki pembeli memiliki suara yang besar. Proses edukasi akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak kecil. Apabila ditelateni, maka hasilnya bisa seperti kopi Kolombia dengan kampanya Juan Valdez-nya. Masalahnya, negara kita dikenal dengan ketidak konsistenan, perencanaan jangka pendek, ingin hasil cepat dan pendanaan yang tidak jelas.
Lalu apa yang bisa dilakukan agar hasilnya terlihat (lebih) cepat? Menurut saya caranya dengan mencoba mencari origin Indonesia yang memiliki rasa yang mirip dengan rasa populer tersebut, fokus hanya pada origin tersebut hingga sebuah satuan waktu, dan memastikan kualitas dan pasokannya bisa terjaga.
Bagaimana dengan daerah lain, atau daerah yang dulu pernah populer? Pada skema kedua, daerah tersebut diminta untuk bersabar terlebih dahulu. Izinkan daerah yang memiliki karakter spesifik ini membukakan jalan. Negeri kita sedemikian kayanya, sehingga menawarkan karakter rasa yang sedemikian luasnya. Luasnya tawaran membuat seseorang menjadi semakin susah menentukan pilihan. Belum sempat mereka selesai bermain dengan profil sangrai atau rasa, muncul rasa lain. Ketika sudah jatuh cinta, barang yang sama hilang dari pasaran atau kualitas turun.
Kita dibesarkan untuk maju dan bergerak bersama. Namun maju dan bergerak bersama sering kali menghasilkan dilema. Sudah waktunya kita belajar untuk bergerak bergantian. Bergerak berdasarkan data, bukan cerita atau kebanggaan semata. Observasi yang saya lakukan ini memang hanya dari segelintir kedai kopi gelombang ke-3 di pantai barat Amerika. Secara volume, kedai kopi gelombang 3 mungkin masih kalah jauh dibandingkan konsumen gelombang ke-2, atau gelombang ke-1 sekalian. Namun para pemilik kedai gelombang 3 serta pelanggannya tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap masa depan konsumsi kopi dunia. Mereka berani beropini serta bereksperimen, mencari titik seduh yang menurut mereka optimum. Bila kita tidak mencoba mencari tahu apa yang mereka gemari, apa yang akan terjadi kala muncul gelombang-gelombang yang lainnya?
Los Angeles, 11 Februari 2018