Crucial Step

kebahagiaan tiba-tiba meredup, apa yang dianggap luar biasa mendadak biasa, bahka ketinggalan jaman. Itu yang saya rasakan ketika mengobrol dengan pak Amin, petugas yang berwenang atas pengolahan kopi  yang dilakukan oleh biarawan Trapist di Petapaan Rawaseneng.

Perjalanan Panjang dari Jogja membuat badan terasa sluggish ketika tiba di Rawaseneng. Seorang Frater (yang seperti biasa lupa namanya) menjelaskan kepada saya bahwa untuk bisa menghidupi biara, pihak biara mendirikan perusahaan yang berkecimpung di bidang perkebunan (kopi) dan peternakan sapi perah. Untuk kopi itulah saya kemari.

Biara trapist Rawaseneng memiliki 130 hektar kebun kopi. Kebun yang cukup luas. Kebun seluas itu rata-rata bisa menghasilkan 80 ton gelondong basah pertahunnya Yang membedakan robusta produksi rawaseneng dengan robusta biasanya adalah proses pasca panen yang mereka lakukan.

“Kami hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang belanda dulu” cerita pak Iman. Kopi dipetik merah, dan bila ada kopi setengah matang yang terpetik prosesnya akan dibedakan. Setelah dipetik kopi akan disortir lalu dicuci dan melalui proses syphon, masuk ke dalam pulper. Kopi yang belum terlalu matang akan dijemur, dikeringkan, laiknya kopi yang diproses dengan menggunakan metoda natural Dari pulper kopi dialirkan ke bak bak fermentasi. Selama dialirkan, kopi yang mengambang akan dipisahkan, untuk kemudian diproses terpisah pula. Fermentasi? ya itulah yang membuat proses ini berbeda. Proses fermentasi yang biasa dilakukan  untuk arabika, ternyata sudah mereka aplikasikan pada robusta sejak dahulu kala. Disinilah kespesialan robusta favorit, Robusta Baron dari kebun Tok Bandung milik PT Redjodadi, agak luruh.Proses yang saya anggap spesial dan unik, ternyata sudah dilakukan dari dahulu disini.

Setelah melalui proses fermentasi, kopi akan direndam untuk membersihkan sisa lendir dan kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat pengering bertenagakan kayu bakar. Alat mengagumkan ini berhasil mengurangi waktu pengeringan menjadi beberapa hari saja, dari yang biasanya bisa memakan berminggu-minggu. Kopi lalu disimpan dalam bentuk gabah, diistirahatkan beberapa hari, sebelum akhirnya dihuller menjadi kopi beras.

Proses tersebut bisa dibilang cukup panjang dan runut. Sebuah proses yang bisa dibilang mustahil dilakukan oleh petani biasa. Namun ada sesuatu yang mengganggu dari proses tersebut, sesuatu yang membuat saya miris.

Sudah entah berapa kali saya mencoba kopi rawaseneng ini yang diolah oleh roaster-roaster di Jakarta. Roaster besar kecil sekarang mulai membantu Biara Trapist ini dengan harga yang lebih baik dariapda para tengkulak disekitar temanggung. Namun entah kenapa, belum satupun kopi  van rawaseneng yang berhasil menohok citarasa, seperti rasa yang dihasilkan oleh robusta baron. Apakah masalahnya ada di roasting? Robusta Baron selalu saya coba dalam cupping, dimana kopi disangrai tidak terlalu gelap, sementara kopi yang dihasilkan oleh para roaster jakarta cenderung sangat gelap. Disinikah rasa tersebut hilang?. 

Godaan untuk belajar roasting semakin lama semakin besar. Semakin lama semakin terasa betapa crucialnya proses yang satu ini. Disini produk bagus bisa buruk, dan bila sang roaster jago, sebuah produk biasa bisa terasa luar biasa.

Tinggal pertanyaannya.. belajar dengan duit siapa ya? hehehehhe